AdminLTELogo
PPIH Kabupaten Kediri
Mohon Tunggu

Materi

User Image MABIT
Menurut bahasa, mabit berarti bermalam. Menurut istilah, mabit berarti bermalam di Muzdalifah dan bermalam di Mina untuk memenuhi ketentuan manasik haji.
User Image MABIT DI MUZDALIFAH

Mabit di Muzdalifah adalah bermalam atau beristirahat di Muzdalifah pada 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah dan hukumnya wajib. Mabit di Muzdalifah dianggap sah bila jemaah berada di Muzdalifah melewati tengah malam, walau ia hanya mabit sesaat. Pada saat mabit hendaknya seseorang banyak membaca talbiyah, dzikir, istighfar, berdoa atau membaca al-Qur’an. 


Beberapa hal yang terkait hukum mabit di Muzdalifah :

1. Menurut sebagian besar ulama’, hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib.

2. Sebagian ulama’ lain menyatakan sunat.

3. Jemaah haji yang tidak mabit karena uzur syar’i seperti sakit, mengurus orang sakit, tersesat jalan dan lain sebagainya, tidak diwajibkan membayar dam.

User Image MABIT DI MINA

Mabit di Mina adalah bermalam pada malam hari tanggal 11 sampai 12 Dzulhijjah bagi nafar awal dan bermalam pada malam hari tanggal 11 sampai 13 Dzulhijjah bagi nafar tsani. 


Hukum mabit di Mina adalah wajib.


Beberapa hal terkait dengan ketentuan mabit di Mina:


1. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ibnu Hanbal, hukum mabit di Mina adalah wajib. Jemaah haji yang tidak mabit selama satu malam wajib membayar satu mud. Jemaah yang tidak mabit dua malam wajib membayar dua mud. Sedangkan jemaah yang tidak mabit di Mina selama tiga malam wajib membayar dam dengan menyembelih seekor kambing.


2. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat baru (qaul jadid) Imam Syafi’i, hukum mabit di Mina sunat. Bagi jemaah haji yang tidak mabit di Mina tidak diwajibkan membayar dam.


3. Mabit di Mina dinyatakan sah bila jemaah  haji berada di Mina lebih dari separuh malam. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa mabit di Mina sah bila jemaah sempat hadir di Mina sebelum terbit fajar yang  kedua (fajar shadiq).


4. Tempat mabit bagi sebagian besar jamaah haji Indonesa adalah Harratul Lisan. Sejak 1984 pemerintah Arab Saudi terus memperluas kawasan Mina hingga sejak 2001 sebagian jemaah haji mendapatkan perkemahan perluasan mina atau disebut tausi’atu mina. Hal ini dilakukan mengingat wilayah Mina terbatas, sedangkan jumlah jemaah haji semakin bertambah.


5. Mabit di perluasan Mina (tausi’atu Mina) adalah sah. Hal ini diputuskan dalam Mudzakarah ulama’ Indonesia tentang ‘’Mabit di Luar Kawasan Mina’’ pada 10 Januari 2001 di Jakarta yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Selain itu, mufti besar Kerajaan Arab Saudi Syaikh Bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin juga memberikan fatwa bahwa mabit di perluasan Mina adalah sah. Menurut Syaikh Bin Baz “Jemaah haji yang tidak mendapatkan tenda di kemah Mina, hendaknya dia keluar ke Muzdalifah dan Aziziyah atau selain keduanya untuk melaksanakan mabit,”.Bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 17 hal 359-364. Sedangkan menurut Syaikh  ‘Utsaimin,  “Tidak ada masalah melakukan mabit di wilayah Muzdalifah karena alasan kepadatan jamaah di Mina, selama kemah di Muzdalifah tersambung dengan Mina.” Al-‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa, juz 23 hal.241.

User Image MELONTAR JAMRAH

Melontar jamrah adalah melontar batu kerikil ke arah jamrah Sughra, Wustha dan Kubra dengan niat mengenai objek jamrah (marma) dan kerikil masuk  ke dalam lubang marma. Melontar jamrah dilakukan pada hari nahar dan hari tasyrik.


Hukum Melontar

Hukum melontar jamrah adalah wajib, bila seseorang tidak melaksanakannya dikenakan dam/fidyah


Tata Cara Melontar

1. Kerikil mengenai marma dan masuk lubang;

2. Melontar dengan kerikil satu per satu. Melontar dengan tujuh kerikil sekaligus dihitung satu lontaran;

3. Melontar jamarat dengan urutan yang benar, mulai jamrah Sughra, Wustha dan Kubra.


Waktu Melontar

1. Melontar Jamrah Aqabah dilakukan pada 10 Dzulhijjah dimulai sejak lewat tengah malam dan lebih afdhol dilakukan setelah Matahari terbit. Namun, mengingat padatnya jemaah haji yang melontar pada waktu itu, dianjurkan melontar dilakukan mulai siang hari.

2. Waktu melontar pada hari Tasyriq  tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah menurut jumhur ulama dimulai setelah tergelincir Matahari. Namun, Imam Rafi’i dan Imam Isnawi dalam mazhab Syafi’i membolehkan melontar sebelum Matahari tergelincir (qabla zawāl), yang dimulai sejak terbit fajar. Pendapat tersebut dapat diamalkan meskipun sebagian ulama menilai d}a’īf/lemah (Keputusan Muktamar ke- 29 NU 4 Desember 1994).

3. Untuk keamanan, keselamatan, kenyamanan dan ketertiban dalam melontar jamrah, pemerintah Arab Saudi telah mengatur jadwal waktu melontar bagi jamaah haji setiap negara. Jemaah haji harus mengikuti ketentuan jadwal tersebut dan menghindari waktu-waktu larangan.

4. Jemaah haji yang mengalami udzur syar’i diperbolehkan mengakhirkan melontar jamrah dengan cara melontar Jamrah Sughra, Wustha dan Kubra secara sempurna sebagai qadha lontaran untuk hari pertama. Setelah itu jemaah berbalik lagi menuju posisi Jamrah Ula kemudian memulai lagi melontar tiga jamrah yang sama secara berturut-turut sebagai qadha hari kedua. Setelah itu, jemaah menuntaskan lontaran hari terakhir bagi nafar tsani.



Mewakilkan Melontar

Orang yang użur syar’i disebabkan sakit atau hal lain (Kategori udzur syar’i adalah jemaah haji usia lanjut yang mengalami kesulitan, jemaah sakit yang menyebabkan kesulitan dan keadaan lain yang menghalangi. Majlis Ulama Indonesia, Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VI 2018, hal. 43), boleh mewakilkan kewajibannya melontar jamrah kepada orang lain dengan salah satu cara sebagai berikut:

1. Orang yang mewakilkan orang lain melontar jamrah terlebih dulu untuk dirinya sendiri sampai sempurna masing-masing tujuh kali  lontaran,  mulai  dari  Sughra,  Wustha, dan Kubra. Kemudian ia kembali melontar untuk yang  diwakilinya  mulai  dari  Sughra,  Wustha, dan Kubra.

2. Orang yang mewakilkan orang lain melontar Jamrah Ula terlebih dulu untuk dirinya sendiri sampai sempurna masing-masing tujuh kali lontaran, kemudian dia melontar lagi tujuh kali lontaran untuk yang diwakili tanpa harus terlebih dulu menyelesaikan jamrah Wustha dan Kubra. Demikian seterusnya  tindakan yang sama ia lakukan di Jamrah Wustha dan Jamrah Kubra.

User Image BERCUKUR ATAU MEMOTONG RAMBUT

Dalam rangkaian ibadah haji/umrah, bercukur merupakan salah satu rukun haji/umrah, khususnya menurut mazhab Syafi’i, dan tidak sempurna haji/ umrahnya jika tidak mencukur rambut. Sedangkan menurut tiga mazhab lainnya, hukum bercukur adalah wajib, jika ditinggalkan wajib membayar dam.


Bercukur dalam ibadah umrah dilakukan setelah jemaah umrah melaksanakan tawaf dan sa’i. Dalam ibadah haji, praktek yang lazim dilakukan, bercukur dilakukan pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah jemaah melempar Jamrah Kubra. Inilah yang disebut tahallul awal. Namun, bercukur bisa dilaksanakan baik sebelum maupun setelah lempar Jamrah Aqabah.


Madzhab Syafi’i membolehkan bercukur sebelum lontar jamrah. Ibn Umar meriwayatkan, pada saat hari nahar, ada seorang jemaah haji yang berdiri di dekat jumrah dan bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya telah bercukur sebelum saya melaksanakan lempar jamrah.” Rasul menjawab, “Lakukan lemparan jamrah dan tidak ada dosa” (irmi wala haraj). (HR. Al- Bukhari dari Ibnu ‘Umar RA) Menurut imam Malik mencukur sebelum lontar jamrah wajib membayar dam, sedangkan menurut Imam Ahmad bercukur sebelum lontar karena alpa atau tidak tahu tidak terkena dam, tetapi jika sengaja wajib membayar dam.


Adapun tata cara menggunting (memotong) rambut sebagai berikut:

1. Jemaah laki-laki memotong rambut kepala atau mencukur gundul. Rasulullah mendoakan rahmat dan ampunan tiga kali bagi yang mencukur gundul dan sekali bagi yang memendekkannya. Jika mencukur gundul, jemaah bisa memulainya dari separuh kepala bagian kanan kemudian separuh bagian kiri;

2. Jemaah perempuan hanya  memotong rambut kepala dengan cara mengumpulkan rambutnya kemudian memotongnya sebatas ujung jari;

3. Jumlah rambut kepala yang dipotong minimal tiga helai rambut. Bagi Jemaah yang tidak memiliki rambut kepala, disunatkan untuk menempelkan dan menggerakkan alat cukur di kepala. Mencukur rambut kepala tidak boleh digantikan dengan mencukur rambut lain, misalnya kumis atau rambut yang lain.